Belakangan ini, di banyak media sosial seperti TikTok, Instagram, Facebook, dan Twitter sering berseliweran di halaman timeline (linimasa) berupa posting tentang konflik di jalanan. Di luar negeri, hal tersebut diistilahkan sebagai road rage yang oleh masyarakat di sana dikatakan sebagai, "Road rage brings you to no where."
Memang betul adanya, bahwa konflik di jalanan tidak akan menghasilkan apa-apa bahkan hanya memberi kerugian pada diri sendiri. Training Director Safety Defensive Consultant Indonesia Sony Susmana mengatakan, ada dua hal yang menyebabkan pengemudi punya perilaku yang gampang emosi, yaitu karakter dan minimnya pengetahuan keselamatan. Hal itulah yang pada akhirnya menyebabkan dirinya dan seseorang menjadi terluka, bahkan ada yang sampai berujung kematian.
“Karakter keras, kaku, atau egois muncul dari lingkungan yang terbangun tanpa mengedepankan kebersamaan, persaudaraan, berbagi, dan tolong menolong. Sehingga tumbuh menjadi pribadi yang tidak mau kalah,” ucap Sony seperti mengutip Kompas.com, belum lama ini. Sony mengatakan, perilaku egois di jalan raya merupakan tabiat buruk. Sebab ketika ada sedikit konflik di jalan raya, seseorang langsung emosi dan bisa burujung adu otot.
Senada dengan Sony, praktisi psikolog keluarga, Nuzulia Rahma Tristinarum mengungkapkan orang mudah emosi ketika berada di jalan karena beberapa hal. Diantaranya terbiasa bersikap impulsif, langsung bereaksi ketika ada suatu kejadian tertentu. Kemungkinan penyebab lainnya adalah adanya masalah yang terjadi, yang dirasakan atau dipikirkan sebelumnya sehingga mudah tersulut emosi.
Selain itu, bisa juga dipicu karena belum memiliki skill manajemen emosi. Pengendara mobil yang dalam kondisi terburu-buru juga kerap terpandang emosi saat dijalan. "Bisa juga karena pada dasarnya, masih memiliki akhlak atau budi pekerti yang buruk dalam kesehariannya," ujarnya menukil Republika.co.id.
Emosi saat di jalan ini, menurut perempuan yang akrab disapa Lia ini, bisa terjadi pada siapa saja, baik perempuan maupun laki-laki. "Orang yang mudah emosi di jalan biasanya adalah orang yang belum memiliki kemampuan manajemen emosi, impulsif, dan kemampuan kontrol diri yang rendah," ujarnya.
Kedua praktisi tersebut sepakat bahwa perilaku (attitude) pengendara yang harus diperbaiki, bukan hanya ketika di jalanan saja, tapi juga perilaku dasar di kehidupan sehari-hari. Karena pada dasarnya memang mereka yang terlibat konflik di jalanan adalah mereka yang punya masalah dalam bersikap.
Sementara menurut salah seorang masyarakat pengguna kendaraan yang telah berkendara sejak 1996, Angiola Harry, untuk meredam munculnya emosi di jalan, seseorang hendaknya berpikir tentang apa tujuan berkendara pada hakikatnya. "Tentunya kita beli kendaraan mahal untuk mendapat kenyamanan bukan? Bukan untuk beradu kecepatan di jalan umum. Kemudian kalau ada yang bilang, nyaman tidak penting yang penting cepat sampai, maka saya akan bilang, 'Bahkan sopir angkot saja masih memikirkan kenyamanan demi keesokan harinya.' Memang Anda mau tidak ketemu hari esok?" ungkapnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar